Keutamaan wanita shalihah
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ،
اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا
أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik
perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang
akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia
pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57:
“Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “
Tatkala Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa
tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan
zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka
dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal
yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan
selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia
tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat
bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan
menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam
keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau
meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh
anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ،
وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ
الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ
السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita
(istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang
shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang
merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek
(tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang
sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302,
dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan
Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “
Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang
bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan
menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah
kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk
mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan
beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Empat hal tersebut merupakan faktor penyebabdipersuntingnya seorang
wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa
terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan
perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita
karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih
wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), maknanya:
yang
sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk
menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu
terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya
(istri). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini
merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini
ada anjuran untuk berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama
dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak
mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka, baiknya jalan mereka,
dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 10/52)
Sifat-sifat Istri Shalihah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara
mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah
adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6
lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas
seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada
suaminya, karena itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang
taat,” yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan
ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian, pen.), dia menjaga suaminya
dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi
permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan
mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan
kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا
خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ
عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan
Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik
daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat
dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:
a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.
b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
c. Qanitat: wanita-wanita yang taat
d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka,
selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang
disenangi oleh hawa nafsu mereka.
e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud
dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah
tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).
f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا،
وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي
الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan
(Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan
kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang
engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)
Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mempersembahkan
ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, terus menerus
dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat,
puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan
larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat
kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir
kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak
bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan hak-hak suami
sebaik-baiknya.
6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga
kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak
melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga
anak-anak, rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟
اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا
غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ
أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian
yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak
anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia
mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya
berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan
hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu
‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang
suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat
berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan
apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak
ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai
Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya,
demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu
seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan,
kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad
6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63)
menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih
atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya
sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ،
اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا
أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik
perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang
akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi
si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar),
ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat
menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti
puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan
kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
“Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku
dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang
bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri)
kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada
seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat
darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku
tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no.
29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak
menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur
suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي
السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri
menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang
suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan
meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya
sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat
istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik
kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.
—————————————
1 Atau ia belajar agama namun tidak mengamalkannya
2 Tempat untuk bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah, 6/69)
3 Karena keindahan dan kecantikannya secara dzahir atau karena
bagusnya akhlaknya secara batin atau karena dia senantiasa menyibukkan
dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ta‘liq
Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun
Nisa, 1/596, ‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
4 Dengan perkara syar‘i atau perkara biasa (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
5 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
6 Bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
7 Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui bahwasanya Nabi-Nya tidak
akan menceraikan istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan tetapi Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang
kekuasaan-Nya, bila sampai Nabi menceraikan mereka, Dia akan
menggantikan untuk beliau istri-istri yang lebih baik daripada mereka
dalam rangka menakuti-nakuti mereka. Ini merupakan pengabaran tentang
qudrah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ancaman untuk menakut-nakuti
istri-istri Nabi, bukan berarti ada orang yang lebih baik daripada
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an,
18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak baik bahkan mereka
adalah sebaik-baik wanita. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “
Permasalahan
ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri
dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan
mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan beliau di
akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)